Mom dad can I go back home; There was a moment in my own process.
Malam
ini aku memutuskan datang ke ruang belajar, jarak nya tidak jauh dari pintu
kamarku, 5 langkah mungkin? Tepat pukul 01:24 aku memulai baris pertama. Entah
apa yang ingin aku tulis pun tidak tahu, hanya saja aku ingin membawa laptop
kesayanganku untuk menemani malam yang sunyi ini.
Rasanya
setelah hampir 1 tahun lebih merantau (Indonesia-Turki) rasa homesick belum bisa pulih, padahal
liburan musim panas kemarin sudah 1 bulan dirumah, masih amat kurang ternyata.
Lambat laun ya jalani saja, demi meraih impian-impian ini. Apa yang akan ku
tulis malam ini? Berbagi pengalaman kah? Atau kalian bisa sebut saja aku sedang
bercerita karena menurutku menulis adalah obat dari segala macam hal, termasuk
aku yang sedang rindu. Sudah lama rasanya tidak menulis sesuai kosa kata hati,
alasannya sih aku sedang sibuk tapi entah sibuk apa aku pun tak paham.
Banyak
sekali yang sudah ku lalui selama disini, mulai dari depresi sampai rasanya aku
tak sanggup melanjutkan hidup. Terdengar sedikit lebai, tapi memang begitu adanya.
Banyak orang melihatku amat sangat bahagia hidup disini, hidup ku sempurna,
impian ku tercapai satu-persatu dan orang tua yang selalu mendukung keputusan
anak gadis 19 tahun nya ini. Tidak, hidupku tidak seindah di bayangan kalian.
Memang ku akui, aku amat merasa bersyukur untuk hidup ku ini yang sedikit
menjadi lebih baik. Terimakasih yang selalu di mendukungku tanpa pamrih!
Jangan cuma lihat aku bisa hidup dengan senang terus disini, kalian tahu mana mungkin aku menceritakan
penderitaan ku disini, seperti bagaimana rasanya jauh dari kampung halaman dan
lain sebagainya. Tapi aku akan mencoba menulisnya agar kalian paham rasanya
hidup di perantauan dengan puluhan ribu kilo meter jauh dari sosok ibu. Rasanya
aku ingin tarik dia (ibuku) untuk tinggal bersama ku disini.
Tahun
ini, aku pernah mengalami masa-masa yang amat sulit bagiku. Bersosialisasi
dengan warga lokal, bahasa dan budaya memang menjadi sedikit penghalang untuk
menjalani hidup disini, sampai lelah rasanya. Tahu tidak, aku bahkan pernah
menangis di kelas saat aku duduk di kelas persiapan bahasa tahun 2017 bulan
Oktober-Juli 2018. Saat itu ada guru yang memberikan kami tugas rumah/homework. Karena itu aku menghubungi
sahabatku yang asli warga lokal sini, kami sudah cukup mengenal lama, bahasa
yang kami gunakan untuk bercakap bahasa Inggris. Aku meminta bantuannya saat
itu untuk mengoreksi tugasku. Esok nya ku bawa ke sekolah, guru pun mulai
mengecek satu persatu tugas siswanya. Saat tugas ku di pegangnya, ia memanggil
namaku. Aku tersentak, aku takut karena ekspresi wajahnya yang yaa amat
menyeramkan, buatku takut untuk menatapnya kembali. Lalu, ia bertanya kepadaku
“ Tugas mu siapa yang mengerjakan? ” ya aku jawab dong “ Aku hocam (sir)” tapi ia malah bertanya kembali “
Beneran siapa yang mengerjakannya? “ firasatku sudah tak enak, ia membentaku.
Tapi aku mencoba tidak menangis karena aku memang tipe yang di bentak gampang
sekali mengeluarkan air mata. Aku jawab “ Aku kerjain sendiri lalu di bantu
temen Turki ku untuk mengecek grammar
dan pilihan kata nya hocam. “ Tahu tidak
apa yang ia lakukan di depan kelas dengan buku dan hasil tugasku? Ia
mencoretnya dengan bentuk silang. Aku jatuh sejatuh-jatuhnya perasaanku merasa
tidak di hargai. Apa salahnya kalau bilang “ Lebih baik lain kali kerjakan
sendiri yaa tugasnya. Mau benar ataupun salah kami sebagai guru akan menghargai
itu, jangan takut. “ dan tanpa perlu mencoret hasilnya. Sebenranya hari itu air
mataku sudah membendung, sedikit lagi jatuh tapi ku tahan. Aku merasa di
permalukan di depan teman-teman. Lanjut lagi ketika ia mengecek tugas teman ku
yang berasal dari Afrika. Teman ku ini megambil master (S2) disini, ia bahkan
sudah memiliki istri dan anak. Sekelas sontak kaget ketika nama teman kami
lagi-lagi di panggil dengan nada yang seperti itu. Guru ku ini mengampiri dia
dan mencoba bertanya sambil menodongkan buku yang berisi tulisannya itu, “ Kenapa tugasnya seperti ini? Kamu pakai google translate? Bahasa nya kok aneh
semua. Kamu nulis apaan sih? “ waah dari situ cara bicaranya sudah semakin
tidak enak, yang pertama karena warga lokal memang cara berbicaranya sangat
lantang dan seakan sedang marah-marah, yang kedua karena guru ini memang sedang
emosi ya jadi deh seperti orang kebakaran. Sebelum di lanjutkan, aku beritahu
ke kalian tugas kami di sekolah bahasa ini tidak seperti tugas-tugas kuliah,
hanya tentang kehidupan sehari-hari tapi di tulis dengan bahasa turki seakan
sulit nya bertambah-tambah, ya jadi maklum saja kalau kami masih menggandalkan
teman atau google translate. Lanjut
lagi, teman Afrika ku ini mengelak “ Tidak, saya tidak menggunakan google
translate “ tapi guru ku malah menambahkan seperti ini “ Alesan, kamu pakai
terjemahan ya bilang aja lah. Contohnya Yeni di bantu temannya ya mengaku saja
dia “ wah nama ku di sebut, aku mencoba tarik nafas dan berusaha menoleh ke
arah belakang karena kejadiannya memang tepat di belakangku. Tapi sepertinya,
teman ku ini tidak ingin mengakui nya dan ingin menjaga harga dirinya yang
seakan sedang di permalukan dikelas, ia masih mencoba mengelak sampai akhirnya guruku
ini mencoba merobek tugas teman ku dan menggumpalnya lalu di buang ke tempat
sampah “ Kalau kamu ga ngaku juga keluar sekarang dari kelas, jangan ikut kelas
saya, lebih baik kamu kembali ke negaramu saja! Saya akan bilang ke kantor
beasiswa mu agar kamu dipulangkan “ , benar-benar rasanya aku takut sekali,
tapi berusaha tidak mengedipkan mata karena air mataku sudah ingin tumpah dari
pelupuk ini. Teman ku menjawab ucapan guru kami “ Saya tidak mau keluar kelas,
saya ingin ikut belajar. Kamu sebagai guru harusnya tidak boleh begitu, hargai
kami juga. Disini kami masih belajar. “ oh iya teman ku menggunakan kata ‘ sen
‘ saat bercakap-cakap, yang berarti kamu, tapi untuk berbicara kepada guru atau
orang yang diatas kami atau orang yang perlu kami hormati, menggunakan ‘ sen ‘
sangatlah tidak sopan, biasanya kami menggunakan kata ‘ siz ‘ yang berarti anda/kalian. Semakinlah guru ku
ini berapi-api setelah mendengar kata ‘ sen ‘, ia menekankan “ Gunakan siz,
kamu tidak sopan sekali sama saya “ lalu ia pergi ke depan pintu dan memaksa
temanku untuk keluar saat itu juga. Mungkin kalau di ceritakan seperti ini
terdengar biasa saja, andai kalian menyaksikannya langsung. Bahkan mereka
hampir main tangan, salah satu teman ku hampir ingin meredupkan kejadian itu tapi
nihil guru ini cepat untuk mengelak tawaran nya agar berdamai saja.
Dari
hari itu, setiap masuk kelas hatiku tidak tenang, pikiranku tidak sepenuhnya
bersama ku, bibirku yang selalu mencoba beristighfar agar hatiku dapat
berdamai, mata ku yang tak penuh dengan semangat seperti anak muda pada
normalnya, pun tak lupa untuk menelpon keluarga dan mendengarkan sepercik
nasihat emasnya. Berlalu dan berlalu, mulai terasa terbebani untuk masuk
sekolah, aku terlihat lesu sekali tak ada semangat yang membara sampai di suatu
kejadian ketika sedang menunggu jam pelajaran listening dengan guru yang berbeda, saat itu kelas belum di mulai.
Aku terduduk, melamun dan menangis tanpa sadar. Kejadian yang lalu masih
terbayang dengan jelas. Aku hidupkan layar handphone
ku, ku cari kontak ibu ku lalu aku tekan tombol call. Dan aku katakan pada ibuku aku ingin pulang, aku tidak ingin
melanjutkan study ku disini, aku masih tidak terima tugas yang ku tulis di
coret dengan pena merah membentuk silang besar. Sambil aku menelpon, air mata
dan suara tangisanku tak bisa di tahan lagi, aku ini tipe yang mengeluarkan
suara kalau sedang menangis, yaa jadilah sekelas panik melihat aku yang tiba-tiba
teriak-teriak di telpon. Satu persatu datang menghampiriku dan bertanya ada
apa, apa yang terjadi, kamu kenapa, coba tenangin diri kamu dulu, aku cuma
jawab “ I miss my mom “ dan masih
berlanjut berbicara di telpon dengan ibuku, beliau juga ikut panik, khawatir
dan macam-macam. Ia menenangkan ku, agar aku sabar sedikit lagi. Lalu dosen ku
yang lain datang, dan kaget melihat wajahku yang penuh dengan air mata, ia pun
bertanya apa yang terjadi, apa kamu ada masalah, siapa yang buat kamu nangis,
ada yang marahin kah, atau maukah aku pindah ke kelas lain, dll. Tapi aku tak
bisa menjawab nya karena keadan ku juga tidak bisa di ajak bicara lagi, lalu ia
membawa ku keluar kelas, mengintrogasi ku dengan banyak sekali pertanyaan, dan aku
masih belum bisa menjawabnya, rasanya aku butuh pelukan ibuku, mungkin saking
rindunya. Dosen ku ini perempuan, mungkin sedikit mengerti perasaan ku lalu dia
memeluk ku dengan amat sangat erat dan mengusap-usap punggung belakang ku agar
aku lebih tenang. Lalu ia menganjak ku menuju wastafel untuk mencuci muka,
kagetnya malah ia sendiri yang membasuh wajahku dengan kedua tangannya sendiri
dan masih mencoba mem-pukpuk kan punggung ku. Saat aku menulis ini pikiran ku,
perasaan ku mencoba kembali ke masa-masa itu. Masih dengan jelas bekas luka itu
masih menempel, di bentak, menyaksikan guru dan murid berdebat bahkan hampir
main tangan. Hari itu setelah dosenku membersihkan wajahku, dengan nafas yang
berat ku coba bertanya padanya “ Apa aku boleh pulang lebih cepat hari ini? Dan
pindah kelas? “ lalu boleh katanya. Bergegaslah aku membereskan peralatanku dan
pulang. Esoknya, aku mengurus kepindahan kelas ku. Semenjak itu, perasaan ku
masih abu, tak bisa menatap wajah dosen yang beraninya mencoret tugasku, hatiku
langsung menciut ketika kami berpapasan, aku sama sekali tak ingin melontarkan
senyum ku tapi aku masih menganggap beliau tetaplah guruku.
I accepted that this was an imperfect world full of imperfect people and imperfect days and there was nothing I could do to change that at the moment.
Oh
ya ibu ku juga seorang guru Taman Kanak-Kanak (TK), ayah ku pun seorang guru
PNS (Pegawai Negeri Sipil). Menurutku mereka adalah the best teacher in my life. Bukan Cuma dirumah ya, karena jaman SD
& SMP aku pernah diajar ayahku sendiri hahaha, bahkan Ijazah & Rapor SMP-ku
ayahku sendiri yang memberikan tanda tangan 2 kali sebagai wali murid dan sekaligus
sebagai kepala sekolah.
Itu
sih yang sekarang ingin aku ceritakan, mungkin lain kali aku akan bercerita
tentang bagaimana aku bisa menghadapi rasa depresi, malas dan stres setelah masa-masa sulit itu. Terima
kasih untuk orang-orang selalu mensupport dan mengapresiasi hal-hal kecil yang ada
dalam diriku, I’d appreciate it back! See you next time!
Komentar
Posting Komentar